Cukai Disulap Jadi Lumbung Uang, Bongkar PR Fiktif Ala King Maker

Foto. Ilustrasi

OPINI | SUMEKAR.ID Akhir-akhir ini, isu jual beli pita cukai semakin mencuat di tengah masyarakat Madura, Utamanya kabupaten ujung Timur yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Keris. Tidak hanya menjadi bisik-bisik antar aktivis dan wartawan, persoalan ini mulai menyeruak ke ruang publik sebagai sebuah skandal yang mengkhawatirkan.

Isu ini mencuat lantaran praktik tersebut diduga melibatkan keuntungan fantastis. Hanya dengan menjual pita cukai kepada “King Maker” dari luar Madura, pelakunya mampu mengantongi ratusan hingga miliaran rupiah tanpa harus benar-benar memproduksi rokok dalam jumlah signifikan.

Praktik ini dikabarkan dilakukan oleh sejumlah perusahaan rokok (PR) di Madura yang dikendalikan oleh satu tokoh berinisial (YI) . Meski tak tampil secara langsung, (YI) diduga mengoperasikan belasan PR atas nama orang-orang terdekatnya.

Nama-nama yang disebutkan dalam pengelolaan PR tersebut mencakup mertua, menantu, sanak famili, hingga teman dekatnya. Dengan pola seperti ini, ia seolah menghindari sorotan langsung, namun tetap mengontrol seluruh operasional bisnis.

Beberapa PR yang dikaitkan dengan kendali (YI) antara lain PR Air Bening Jaya, PR Sumber Bahagia Tobacco, PR Gudang Cengkeh 99, PR Nasikurrahman, dan lainnya. Merek-merek ini kemudian diduga digunakan sebagai kendaraan dalam proses penebusan pita cukai.

Yang menarik, meskipun jumlah perusahaan yang dikelola cukup banyak, hanya terdapat dua hingga empat merek rokok yang benar-benar beredar, di antaranya Teh Madu, DST Alami, Manggo Jaya, dan Aroma Cengkeh 99. Sisanya tak tampak aktif di pasaran.

Hal ini menimbulkan kecurigaan besar: apakah benar semua pita cukai tersebut digunakan untuk produksi nyata, atau hanya sebagai kedok untuk transaksi ilegal ke luar daerah, seperti Malang, Pasuruan, bahkan luar pulau?

Praktik semacam ini tentu sangat merugikan negara. Pita cukai sejatinya diterbitkan sebagai bentuk pengendalian dan penerimaan negara. Namun ketika fungsinya diselewengkan, bukan hanya negara yang rugi, tetapi sistem hukum juga dilecehkan.

Baca Juga:  Pasar Gelap Produsen Rokok Ilegal dan Ternak Pita Cukai Bersarang di Wilayah Ini

Jika benar, dugaan ini dapat menjurus pada pelanggaran sejumlah pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terutama, karena melibatkan kerugian keuangan negara dan penyalahgunaan wewenang.

Pasal 2 ayat (1) misalnya, menyebutkan bahwa setiap orang yang memperkaya diri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana. Ini sangat relevan dengan jual beli pita cukai yang tidak berdasar produksi nyata.

Selain itu, Pasal 3 mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat atau pihak yang memiliki jabatan. Jika ada keterlibatan oknum dalam proses persetujuan, maka pasal ini bisa menjerat mereka dengan hukuman berat.

Tak kalah penting, Pasal 12 huruf e dan i menyoroti soal penerimaan imbalan secara tidak sah serta pembiaran tindakan hukum. Artinya, siapapun yang tahu namun tidak bertindak juga bisa dianggap turut bersalah.

Aktivis Aliansi Pemuda Reformasi Melawan sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa skandal ini merupakan tamparan keras bagi otoritas pengawasan bea cukai. Menurutnya, sistem yang longgar memberi ruang nyaman bagi praktik-praktik menyimpang ini tumbuh subur.

Baca Juga:  Kisah Asmara Pimpinan Perguruan Tinggi: Cinta, Harta, dan Skandal di Balik Kampus

Ia menambahkan bahwa pihaknya akan mengusut kasus ini sampai tuntas. Tidak hanya menyasar pelaku di lapangan, tetapi juga membongkar siapa saja yang turut membekingi atau memfasilitasi praktik jual beli pita cukai tersebut.

Jika pengusutan ini benar-benar dilakukan secara serius, maka publik berharap prosesnya transparan. Tidak berhenti pada pelaku kecil, tetapi juga menjaring aktor intelektual dan jejaring pengaman yang selama ini melindungi bisnis haram ini.

Perlu digarisbawahi, bisnis pita cukai bukan semata urusan ekonomi. Ini juga soal keadilan dan moral publik. Ketika satu pihak bisa menikmati keuntungan besar secara ilegal, petani tembakau dan pelaku usaha kecil justru tercekik aturan ketat.

Apalagi, banyak UMKM penghasil rokok lokal yang kesulitan mendapat pita cukai karena regulasi yang rumit. Ironisnya, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan (YI) justru dengan mudah menebus dalam jumlah besar.

Fakta ini menunjukkan adanya kemungkinan kolusi atau pembiaran dari oknum tertentu. Bisa jadi dari internal otoritas cukai sendiri, bisa pula dari unsur lain di pemerintahan atau penegak hukum.

Oleh karena itu, masyarakat sipil, media, dan pegiat antikorupsi harus bersatu mendorong terbentuknya tim investigasi independen. Skema jual beli pita cukai harus diaudit dan ditertibkan agar tidak terus merugikan negara.

Baca Juga:  OPINI : Negara Tidur Diatas Punggung Petani

Penting juga bagi aparat penegak hukum untuk bersikap netral dan berani. Tanpa penindakan tegas, kasus seperti ini akan terus berulang dan melemahkan wibawa hukum di mata masyarakat.

Jika tidak ditindak, bukan mustahil skema serupa akan menyebar ke daerah lain. Bayangkan jika ratusan PR fiktif serupa muncul di berbagai daerah hanya demi menguras uang negara lewat jual beli pita cukai.

Skandal ini juga menjadi cermin buruk tata kelola industri rokok di Indonesia. Negara memang mendapat pemasukan besar dari cukai, tapi jika tidak diawasi, pemasukan itu akan jadi celah korupsi sistemik yang merusak dari dalam.

Kini bola panas berada di tangan aparat. Akankah mereka bertindak atau justru bungkam demi melindungi kepentingan tertentu? Jawabannya akan sangat menentukan arah pemberantasan korupsi di level daerah maupun nasional.

Penulis : Andriyadi, Aktivis Aliansi Pemuda Reformasi Melawan (ALARM) Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *