Calon Sekda: Birokrasi? Penjual Regulasi?

Foto. Gambar Ilustrasi AI, Fauzi As.

OPINI | SUMEKAR.ID — Sekda bukan tukang sebut “Yang Mulia”. Pergantian Sekretaris Daerah (Sekda) di Kabupaten Sumenep tampaknya akan menjadi ritual administratif yang tidak sekadar mengganti jabatan, sekaligus membuka panggung satire birokrasi.

Bukan rakyat tak peduli, tapi saking banyaknya nama yang beredar, lengkap dengan tim sukses diam-diam. Pencitraan diam-diam, dan safari berkedok koordinasi pembangunan.

Semua ingin terlihat layak, padahal sebagian besarnya tak lebih dari jebakan formalitas permainan lama. Ini bukan urusan siapa yang paling pandai menyebut “Yang Mulia” tanpa berpikir kritis.

Sekda, sebagaimana seharusnya, bukan jabatan basa-basi. Ia bukan tukang stempel keinginan Bupati, bukan penjual Perbup, bukan pula juru bicara jaringan kontraktor proyek.

Ia adalah kepala pemerintahan sipil, pemegang kendali tertinggi dalam manajemen ASN, dan lebih dari itu, ia adalah orang tua dari birokrasi.

Bagi ASN, Sekda bukan sekadar pimpinan administratif, tetapi sumber keteladanan moral, arah komando, dan tempat mengadu dalam tekanan.

Namun sayangnya, daftar nama yang mulai muncul ke permukaan sebagian besar justru datang dari jalur yang “Maaf” sudah sering disorot publik karena sepak terjangnya yang lebih banyak menimbulkan tanya ketimbang kekaguman.

Ada yang dikenal pandai menyelipkan pasal-pasal regulasi dalam Perbub Pilkades demi mengamankan kelompok tertentu.

Ada yang bahkan tak ragu meramu regulasi seperti menyusun daftar menu. Mana yang bisa dijual, mana yang bisa dinego, dan mana yang cukup untuk menggiring opini.

Kita butuh Sekda yang paham birokrasi, bukan calo peraturan. Tapi apa jadinya jika salah satu kandidat justru punya reputasi sebagai ‘Penyusun Perbup Pesanan’?

Apakah Sumenep akan mempercayakan wajah birokrasi kepada tangan yang gemar memelintir pasal? Atau kepada bibir yang setiap hari mengucap “Siap Laksanakan” tanpa pernah tahu untuk siapa dan untuk apa perintah itu?

Baca Juga:  Konfercab Ini Milik Kita, Bukan Milik Mereka yang Selalu Sama

Tak hanya itu, ada juga figur yang dikenal lihai berpose tapi lemah dalam kerja konkret. Saat apel pagi, wajahnya bersinar.

Tapi saat pelayanan publik bermasalah, ia menghilang, atau malah menyalahkan staf paling bawah.

Ia hanya muncul jika ada kamera. Kalau kamera mati, maka matilah juga fungsi pelayanan. Ia bukan pemimpin, ia hanya pengatur pencitraan.

Ada pula calon Sekda yang terlalu sibuk dengan dunia atas: jaringan kekuasaan, dunia proyek, dan urusan lobi anggaran.

Tapi ketika rakyat mengadu, soal pelayanan pendidikan, soal nasib tenaga honorer, dia hanya menjawab dengan emoji, atau bahkan tak membalas sama sekali.

WA rakyat cuma dibaca. Sementara WA kolega proyek dibalas dalam hitungan detik. Inikah wajah pelayanan kita ke depan?

Rakyat Sumenep berhak bertanya: untuk apa jabatan Sekda diberikan kepada mereka yang selama ini gagal menjangkau persoalan paling dasar birokrasi?

Bahkan sebelum dilantik saja sudah menunjukkan sikap eksklusif dan anti-rakyat. Lalu bagaimana mungkin setelah menjabat, mereka bisa diharapkan mengayomi?

Figur-figur seperti ini, tak ubahnya seperti lukisan indah di ruang rapat: enak dilihat, tapi tidak pernah menyentuh masalah.

Mereka paham struktur birokrasi, tapi tidak memahami penderitaan para ASN muda yang setiap bulan kebingungan membayar cicilan.

Mereka hafal RPJMD, tapi tak bisa menjawab kenapa dana operasional sering terlambat.

Mereka bicara efisiensi, tapi dia sendiri memakai mobil dinas seperti armada pribadi.

Apakah Sekda kita ke depan akan diisi oleh sosok yang bahkan alergi berdialog dengan kalangan yang kritis?

Apakah hanya karena seseorang “Dekat” dengan bupati, maka otomatis ia dianggap kompeten?

Padahal loyalitas tanpa kecerdasan adalah resep untuk kehancuran birokrasi.
Sekda yang baik tidak takut berbeda pendapat.

Baca Juga:  DPRD Sumut Gelar Seminar Penyebarluasan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Deztron Indonesia

Ia tidak hidup untuk menyenangkan penguasa, tetapi untuk menjaga marwah birokrasi dan menjadi penyeimbang dalam pengambilan keputusan publik.

Ia harus mampu menegur dengan santun, memimpin dengan integritas, dan mengelola organisasi dengan keberanian yang rasional.

Ia bukan makhluk protokoler yang hanya bisa berkata “Baik” di depan bupati dan “Nanti Kita Lihat” di depan rakyat.

Rakyat butuh Sekda yang komunikatif, yang bisa menjangkau masyarakat kecil, menyapa guru honorer tanpa harus didampingi ajudan, dan bisa duduk dengan aktivis yang berbeda pandangan tanpa merasa tersinggung.

Kita tidak butuh birokrat yang merasa tersanjung jika dipuji wartawan, tapi tersinggung jika dikritik mahasiswa.

Maka, saat ini kita harus tegaskan kriteria moral-politik untuk jabatan ini:

• Tidak pernah memperdagangkan regulasi demi proyek politik.

• Tidak pernah alergi pada kelompok kritis dan oposisi.

• Tidak menjadikan jabatan sebagai batu loncatan menuju panggung Pilkada.

• Tidak gemar tampil di kamera tapi lari dari tanggung jawab lapangan.

• Dan terutama, tidak menjadikan birokrasi sebagai ladang transaksi.

Jika figur yang naik hanyalah mereka yang mengandalkan koneksi ke dalam dan mematikan koneksi ke luar, maka kita semua sedang memperpanjang umur kemacetan birokrasi.

Kalau calon yang lolos hanya bisa berbisik pada kekuasaan, dan tuli terhadap suara publik, maka jabatan Sekda akan kehilangan fungsinya sebagai penyeimbang, dan hanya jadi perpanjangan ego politik.

Sumenep butuh Sekda yang bisa jadi “orang tua” Yang Sabar, Tegas, Dan Terbuka. Bukan “Anak Buah” yang manut pada siapa yang berkuasa, tapi diam pada penderitaan rakyat.

Sekda bukan satpam anggaran, tapi penjaga kewarasan birokrasi. Ia bukan pembisik istana, tapi penerjemah kebutuhan rakyat.

Baca Juga:  Puluhan Kepala Daerah Se Jawa Timur Akan Dilantik di Istana Negara, Berikut Daftarnya

Jangan biarkan birokrasi dipimpin oleh tangan yang selama ini sibuk menandatangani SPJ penuh siasat.

Jangan biarkan jabatan strategis ini dibajak oleh mereka yang menjadikan kedekatan sebagai tiket, dan menganggap rakyat hanya sebagai “Penonton Di Pinggir Catwalk Kekuasaan.”

Jika seleksi kali ini hanya jadi pengesahan dari figur terdekat bupati, maka kita tak sedang memilih Sekda, melainkan menyusun struktur boneka dengan kerangka rapuh dan fungsi satu arah.

Rakyat butuh pemimpin birokrasi yang punya nyali, bukan sekadar punya nama di daftar kandidat.

Sumenep tidak kekurangan SDM. Tapi kekurangan keberanian untuk memilih yang benar.

Saya mengajak para Aktivis, Lsm dan Media, untuk mengadakan uji publik terhadap calon-calon Sekda. Agar rakyat bisa melihat integritas dan kompetensi dari masing masing calon. Jangan sampai Sekda Sumenep jatuh pada setumpuk kertas tanpa otoritas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *