Opini  

Revisi UU TNI: Pejabat Sipil Semakin Militeristik?

OPINI | SUMEKAR.ID — Wacana revisi Undang-Undang TNI ini seperti permainan yang terus berkembang, mirip update game online yang tiap patch-nya menambah fitur baru—hanya saja, kali ini fiturnya adalah semakin banyaknya kementerian yang boleh diisi oleh tentara aktif. Awalnya, pemerintah cuma mau menambah lima kementerian dari yang sebelumnya sepuluh.

Eh, tahu-tahu, jumlahnya naik jadi enam. Besok-besok, kalau makin seru, bisa jadi semua kementerian mendadak seragam loreng, dan kita bingung membedakan mana rapat kabinet, mana apel pagi di lapangan.

banner 325x300

Diskusi tentang hal tersebut digelar di Hotel Fairmont Jakarta, bukan di markas militer, tapi tetap saja kesannya serius. Bayangkan, kalau sampai Kejaksaan Agung dan lembaga sipil lainnya mulai dipenuhi tentara aktif, apakah ini tanda-tanda kita bakal punya sistem pemerintahan yang lebih militeristik?

Mari kita bedah. Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004, ada 10 K/L yang boleh diisi oleh TNI aktif. Tapi dengan revisi ini, pemerintah mengajukan tambahan lima: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung.

Baca Juga:  Konfercab Ini Milik Kita, Bukan Milik Mereka yang Selalu Sama

Nah, entah bagaimana caranya, sekarang ada tambahan lagi satu K/L, walaupun belum jelas mana yang ketiban jatah.

TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR dari PDIP, membocorkan ini setelah rapat Panja RUU TNI. Intinya, pembahasan semakin panas, dan sepertinya makin banyak ruang sipil yang mau diisi oleh orang-orang berbaju loreng.

TNI di Jabatan Sipil: Perlu atau Kebanyakan?

Sebenarnya, wacana penempatan TNI aktif di jabatan sipil bukan barang baru. Sejak reformasi, semangatnya justru membatasi keterlibatan TNI dalam urusan sipil. Tapi beberapa tahun belakangan, ada tren menarik: militer mulai masuk ke lebih banyak sektor sipil. Apakah ini bagian dari strategi mempertahankan pengaruh, atau memang ada kebutuhan mendesak?

Baca Juga:  OPINI : Jika Ingin Sesuatu, Harus Berjuang

Ada yang bilang, beberapa posisi tertentu memang butuh sentuhan militer, terutama yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan. Tapi kalau terus ditambah, bukankah itu justru mengaburkan batas sipil-militer yang susah payah dibangun pasca-Orde Baru?

Kritiknya sudah jelas: jangan sampai reformasi TNI malah mundur, dan kita kembali ke masa di mana semua lini pemerintahan punya unsur militer di dalamnya. Jangan salah, prajurit TNI itu terlatih untuk perang, bukan untuk merancang kebijakan publik atau mengurus perikanan. Kalau dibiarkan, bisa jadi nanti Menteri Pariwisata pun harus dari kalangan jenderal.

Perdebatan ini bakal terus berlanjut, dan DPR pasti akan jadi arena adu argumen antara yang pro dan kontra. Tapi kalau terus ditambah, lama-lama akan muncul pertanyaan: kalau hampir semua kementerian bisa diisi tentara aktif, apa masih perlu ada pemisahan sipil-militer? Atau ini sinyal kalau Indonesia diam-diam ingin balik ke model dwi-fungsi ABRI yang dulu dikritik habis-habisan?

Baca Juga:  Ketika Petani Ikut-ikutan: Mencari Strategi Politik Ekonomi Untuk Mewujudkan "Batubara Bahagia"

Buat sekarang, kita pantau saja. Sambil berharap jangan sampai ke depan nanti kita harus menyebut “Mayor Jenderal” sebelum menyebut nama pejabat sipil di setiap kementerian.

Penulis: A. Rahman Al Mahfudy, Presma UA Guluk-Guluk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *