Skandal Etik DLH Malang: Publik Pertanyakan Komitmen Wali Kota

Foto. Ilustrasi

MALANG, SUMEKAR.ID Pemerintah Kota Malang dinilai lamban menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Noer Rahman Wijaya. Kasus ini mencuat akibat dugaan poligami tanpa izin istri pertama dan atasan langsung.

Dugaan tersebut mengacu pada Pasal 10 PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Pejabat yang hendak berpoligami wajib memperoleh izin tertulis dari atasannya.

Namun hingga saat ini, Wali Kota Malang belum pernah menerima permohonan izin dari Kepala DLH. Jika terbukti melanggar, sanksi disiplin berat hingga pemberhentian tidak hormat dapat dijatuhkan, sesuai PP No. 94 Tahun 2021.

Meski telah hampir satu bulan berlalu sejak laporan disampaikan, Pemkot Malang belum menunjukkan langkah konkret. Tidak adanya transparansi memperkuat dugaan publik bahwa pemerintah bersikap abai terhadap etika birokrasi.

Baca Juga:  Trupastry: Soes Halal Premium yang Jadi Favorit Konsumen dan Influencer

Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Rakyat (AMMPERA) sebelumnya telah melaporkan kasus ini pada 10 Juni 2025. Namun hingga kini, Noer Rahman Wijaya masih aktif menjalankan tugas sebagai kepala dinas.

AMMPERA bersama tim hukum—Husni, Soffan, dan Mas’udi—telah melakukan audiensi dengan Sekda, Inspektorat, dan BKPSDM pada 26 Juni 2025. Mereka mendesak keputusan tegas dari dewan etik.

Dalam pertemuan itu, Sekda Kota Malang menyatakan kasus telah masuk tahap finalisasi. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian waktu atau keputusan resmi yang disampaikan ke publik.

Ketua Dewan Etik, Erik Setyo Santoso yang juga menjabat sebagai Sekda, belum merespons tuntutan publik. Padahal, anggota dewan etik terdiri dari unsur Inspektorat dan BKPSDM yang memiliki otoritas untuk menindaklanjuti pelanggaran.

Baca Juga:  Menteri, Gubsu, PB NU dan Sejumlah Tokoh-tokoh Hadir Resepsi Putri Ketua PW NU Sumatera Utara 

Lambannya respons dari dewan etik memunculkan dugaan adanya konflik kepentingan dalam tubuh pemerintahan. Keputusan etik yang tidak kunjung keluar dianggap mencederai prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Sebagai pejabat publik, kepala DLH semestinya menjadi teladan dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Pelanggaran etika seperti ini mencoreng citra birokrasi dan merusak kepercayaan masyarakat.

AMMPERA menilai, alasan “Masih Dalam Investigasi” atau “Menunggu Finalisasi” tidak lagi relevan. Ketiadaan keputusan hanya akan memperlihatkan kelumpuhan moral dalam birokrasi Pemkot Malang.

“Menjatuhkan sanksi bukan sekadar bentuk hukuman, tapi juga langkah pemulihan integritas institusi,” ujar Rifki, Ketua AMMPERA. Ia menegaskan, masyarakat Malang berhak atas pemerintahan yang bersih dan beretika.

Jika kasus ini terus dibiarkan tanpa kejelasan, AMMPERA akan menempuh langkah aksi demonstrasi. Mereka menuntut Wali Kota dan dewan etik tidak berdiam diri atas dugaan pelanggaran serius ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *